Gas Helium : Fenomena ‘ajaib’ yang dikenal sebagai Superfluiditas telah berhasil menghantarkan sebuah Nobel Fisika bagi Anthony J. Leggett di tahun 2003 lalu. Pria Inggris yang mendapatkan gelar Doktor Fisika dari Oxford University pada tahun 1964 ini kini menjadi Profesor Fisika di Center for Advanced Study University of Illinois, Urbana-Champaign. Di mana sebenarnya letak ‘keajaiban’ fluida super yang telah menghadiahinya Nobel Fisika ini? Fluida apa yang berhak mendapat julukan Super ini?
Semuanya dimulai dengan ditemukannya sebuah unsur dalam spektrum cahaya matahari saat terjadi gerhana matahari total pada tahun 1868. Jules Janssen, seorang astronom dari Perancis, menemukan garis kuning dalam spektrum cahaya tersebut. Garis kuning itu menunjukkan adanya radiasi yang berasal dari unsur kimia yang belum pernah ditemukan sebelumnya di bumi. Joseph Norman Lockyer memberi nama unsur tersebut Helium, dari kata Helios yang berarti matahari (Bahasa Yunani). Pada tahun 1895 Helium ditemukan untuk pertama kalinya di bumi oleh William Ramsay (dalam sisa-sisa peluruhan radioaktif uranium). Helium ditemukan juga dalam jumlah besar di sumur-sumur gas di Amerika Serikat.
Ada satu sifat unik helium yang menarik untuk diteliti. Gas helium tidak mudah berubah fasa menjadi cair. Ini berarti titik didihnya sangat rendah sehingga sangat berguna untuk dijadikan cairan pendingin. Banyak peneliti terkenal berlomba-lomba mencairkan helium. Helium berhasil dicairkan untuk pertama kalinya di University of Leiden, Belanda, oleh Heike Kamerlingh Onnes pada tahun 1908. Onnes menemukan bahwa titik didih normal helium adalah 4,2 K (sekitar –268,9oC).
Jika helium cair ini terus didinginkan ternyata cairan helium ini tetap tidak membeku bahkan pada suhu 1 K. Pada tekanan atmosfer helium cair bahkan tetap berada dalam fasa cair walaupun sudah mencapai suhu sangat dekat dengan 0 K (minus 273,15 derajat celcius). Hal ini disebabkan karena massa atom helium yang sangat kecil dan karena interaksi antar atom-atom helium ini sangat lemah.
Ketika helium didinginkan, terjadi keanehan dengan densitasnya (kerapatan). Seiring dengan penurunan temperatur, densitas helium terus bertambah. Tetapi nilainya mencapai maksimum pada suhu 2,17 K. Di bawah suhu tersebut densitasnya justru berkurang dan kemudian cenderung stasioner. Saat dibuat grafik kalor jenis (specific heat) terhadap temperatur, didapatkan kurva yang bentuknya menyerupai huruf Yunani λ (lambda). Fenomena ini dikenal sebagai Transisi Lambda, dan temperaturnya disebut sebagai Temperatur Lambda (Tλ).
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa karakteristik helium cair pada suhu di atas temperatur lambda sangat berbeda dengan helium cair pada suhu lebih dingin dari temperatur lambda. Di atas Tλ cairan helium berada pada fasa yang dikenal sebagai Helium I, sedangkan di bawah Tλ merupakan fasa Helium II. Helium I merupakan fasa helium yang memiliki karakteristik normal seperti fluida-fluida lain. Helium II memiliki keunikan tertentu yang membedakannya dengan fluida biasa. Istilah Helium I dan II ini diperkenalkan oleh Willem Keesom dan Mieczyslaw Wolfke pada tahun 1927.
Pada tahun 1938 peneliti Sovyet, Pyotr L. Kapitsa meneliti lebih lanjut keunikan-keunikan yang dimiliki oleh helium II. Ia menemukan bahwa pada helium II terdapat fenomena superfluid (Fluida Super). Suatu superfluid adalah suatu fluida yang dapat mengalir tanpa gesekan dan tidak mempunyai viskositas (gesekan dalam fluida). Sifat ini dapat dengan mudah diamati saat superfluid diletakkan dalam suatu wadah silinder, kemudian wadah tersebut diputar secara perlahan. Fluida normal pasti ikut bergerak saat wadahnya diputar, tetapi superfluid justru tetap diam. Fluida normal ikut bergerak karena adanya gesekan dengan dinding wadah yang bergerak. Selain itu ada pula faktor viskositas fluida. Superfluid tidak memiliki viskositas dan dapat mengalir tanpa gesekan. Karena itulah fluida super ini tetap diam walaupun wadahnya diputar.
Hal menarik lain dari fluida super ini adalah kemampuan ‘memanjat’ sebuah pipa kapiler dan memancar seperti air mancur saat diberi radiasi panas atau cahaya (Gambar 2). Disamping itu fluida super juga dapat naik merambat dinding suatu bejana.
Penelitian lebih lanjut oleh Kapitsa dan fisikawan lain menunjukkan bahwa jika helium II ini didinginkan terus, maka sifat superfluidnya semakin menonjol dan pada suhu nol derajat kelvin (jika orang bisa mengusahakannya), helium II berubah total menjadi superfluid.
Fenomena superfluid ini dapat dimengerti dengan menganggap fluida super ini sebagai kondensat Bose-Einstein. Menurut Bose dan Einstein jika sejumlah besar partikel-partikel seperti helium itu didinginkan maka partikel-partikel itu dapat berada pada keadaan yang sama (mempunyai energi dan momentum yang sama), sehingga mereka dapat dianggap sebagai sebuah atom
raksasa yang bergerak bersama-sama. Keadaan seperti ini dikenal dengan nama kondensat Bose-Einstein.
Pada keadaan kondensat, karena semua partikel bergerak dengan kecepatan sama dan mempunyai energi yang sama maka tentu saja tidak akan ada gesekan antara bagian-bagian fluida, itu sebabnya viskositas dari fluida super ini nol. Gerakan kondensat (partikel-partikel) ini dapat dianalogikan sebagai sejumlah mobil yang bergerak beriringan dengan kecepatan sama. Mobil-mobil ini akan bergerak bersama-sama tanpa saling saling berbenturan atau saling menghambat.
Helium yang kita bicarakan diatas merupakan isotop He-4 (inti helium ini mempunyai 2 proton dan 2 netron). Disamping He-4 ada lagi isotop helium lain yang juga mempunyai kelakuan seperti fluida super yaitu He-3 (disini inti helium mempunyai 2 proton dan 1 netron). Sifat-sifat superfluiditas dari He-3 pada suhu 0,0025 K ditemukan oleh peneliti Amerika David M. Lee, Douglas D. Osheroff, dan Robert C. Richardson., yang mendapat hadiah nobel fisika 1996 karena penelitiannya itu (Evelyn Mintarno alumni TOFI, peraih perunggu dalam Olimpiade Fisika Internasional 2002, kini menjadi asisten Douglas D. Osheroff untuk riset lanjutannya).
Sekitar tahun 1970-an Leggett mengemukakan teori untuk menjelaskan sifat fluida super pada isotop He-3. Menurut Leggett isotop He-3 ini tidak bisa membentuk kondensat Bose-Einstein karena ia memiliki jumlah netron yang ganjil. Untuk itu Legget menyarankan bahwa bahwa atom-atom He-3 harus berpasangan dulu (Gambar 3) sehingga jumlah netron maupun protonnya menjadi genap seperti pada isotop He-4. Sesudah atom-atom berpasangan (analogi dengan pasangan elektron dalam superkonduktivitas), atom-atom ini mudah membentuk kondensat Bose-Einstein, dan fluidanya menjadi Superfluid.
Kontribusi Leggett dalam superfluiditas telah memberinya berbagai penghargaan bergengsi seperti Wolf Prize (2003), John Bardeen Prize (1994), Paul Dirac Medal and Prize (1992), dan sebuah Nobel Fisika sebagai puncaknya.
Diadaptasi dari Yohanes Surya Ph.D
Semuanya dimulai dengan ditemukannya sebuah unsur dalam spektrum cahaya matahari saat terjadi gerhana matahari total pada tahun 1868. Jules Janssen, seorang astronom dari Perancis, menemukan garis kuning dalam spektrum cahaya tersebut. Garis kuning itu menunjukkan adanya radiasi yang berasal dari unsur kimia yang belum pernah ditemukan sebelumnya di bumi. Joseph Norman Lockyer memberi nama unsur tersebut Helium, dari kata Helios yang berarti matahari (Bahasa Yunani). Pada tahun 1895 Helium ditemukan untuk pertama kalinya di bumi oleh William Ramsay (dalam sisa-sisa peluruhan radioaktif uranium). Helium ditemukan juga dalam jumlah besar di sumur-sumur gas di Amerika Serikat.
Ada satu sifat unik helium yang menarik untuk diteliti. Gas helium tidak mudah berubah fasa menjadi cair. Ini berarti titik didihnya sangat rendah sehingga sangat berguna untuk dijadikan cairan pendingin. Banyak peneliti terkenal berlomba-lomba mencairkan helium. Helium berhasil dicairkan untuk pertama kalinya di University of Leiden, Belanda, oleh Heike Kamerlingh Onnes pada tahun 1908. Onnes menemukan bahwa titik didih normal helium adalah 4,2 K (sekitar –268,9oC).
Jika helium cair ini terus didinginkan ternyata cairan helium ini tetap tidak membeku bahkan pada suhu 1 K. Pada tekanan atmosfer helium cair bahkan tetap berada dalam fasa cair walaupun sudah mencapai suhu sangat dekat dengan 0 K (minus 273,15 derajat celcius). Hal ini disebabkan karena massa atom helium yang sangat kecil dan karena interaksi antar atom-atom helium ini sangat lemah.
Ketika helium didinginkan, terjadi keanehan dengan densitasnya (kerapatan). Seiring dengan penurunan temperatur, densitas helium terus bertambah. Tetapi nilainya mencapai maksimum pada suhu 2,17 K. Di bawah suhu tersebut densitasnya justru berkurang dan kemudian cenderung stasioner. Saat dibuat grafik kalor jenis (specific heat) terhadap temperatur, didapatkan kurva yang bentuknya menyerupai huruf Yunani λ (lambda). Fenomena ini dikenal sebagai Transisi Lambda, dan temperaturnya disebut sebagai Temperatur Lambda (Tλ).
Gambar 1. Grafik kalor jenis He-4 sebagai fungsi suhu |
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa karakteristik helium cair pada suhu di atas temperatur lambda sangat berbeda dengan helium cair pada suhu lebih dingin dari temperatur lambda. Di atas Tλ cairan helium berada pada fasa yang dikenal sebagai Helium I, sedangkan di bawah Tλ merupakan fasa Helium II. Helium I merupakan fasa helium yang memiliki karakteristik normal seperti fluida-fluida lain. Helium II memiliki keunikan tertentu yang membedakannya dengan fluida biasa. Istilah Helium I dan II ini diperkenalkan oleh Willem Keesom dan Mieczyslaw Wolfke pada tahun 1927.
Pada tahun 1938 peneliti Sovyet, Pyotr L. Kapitsa meneliti lebih lanjut keunikan-keunikan yang dimiliki oleh helium II. Ia menemukan bahwa pada helium II terdapat fenomena superfluid (Fluida Super). Suatu superfluid adalah suatu fluida yang dapat mengalir tanpa gesekan dan tidak mempunyai viskositas (gesekan dalam fluida). Sifat ini dapat dengan mudah diamati saat superfluid diletakkan dalam suatu wadah silinder, kemudian wadah tersebut diputar secara perlahan. Fluida normal pasti ikut bergerak saat wadahnya diputar, tetapi superfluid justru tetap diam. Fluida normal ikut bergerak karena adanya gesekan dengan dinding wadah yang bergerak. Selain itu ada pula faktor viskositas fluida. Superfluid tidak memiliki viskositas dan dapat mengalir tanpa gesekan. Karena itulah fluida super ini tetap diam walaupun wadahnya diputar.
Hal menarik lain dari fluida super ini adalah kemampuan ‘memanjat’ sebuah pipa kapiler dan memancar seperti air mancur saat diberi radiasi panas atau cahaya (Gambar 2). Disamping itu fluida super juga dapat naik merambat dinding suatu bejana.
Gamnbar 2. Cairan Helium memancar seperti air mancur (Helium Fountain) |
Fenomena superfluid ini dapat dimengerti dengan menganggap fluida super ini sebagai kondensat Bose-Einstein. Menurut Bose dan Einstein jika sejumlah besar partikel-partikel seperti helium itu didinginkan maka partikel-partikel itu dapat berada pada keadaan yang sama (mempunyai energi dan momentum yang sama), sehingga mereka dapat dianggap sebagai sebuah atom
raksasa yang bergerak bersama-sama. Keadaan seperti ini dikenal dengan nama kondensat Bose-Einstein.
Pada keadaan kondensat, karena semua partikel bergerak dengan kecepatan sama dan mempunyai energi yang sama maka tentu saja tidak akan ada gesekan antara bagian-bagian fluida, itu sebabnya viskositas dari fluida super ini nol. Gerakan kondensat (partikel-partikel) ini dapat dianalogikan sebagai sejumlah mobil yang bergerak beriringan dengan kecepatan sama. Mobil-mobil ini akan bergerak bersama-sama tanpa saling saling berbenturan atau saling menghambat.
Helium yang kita bicarakan diatas merupakan isotop He-4 (inti helium ini mempunyai 2 proton dan 2 netron). Disamping He-4 ada lagi isotop helium lain yang juga mempunyai kelakuan seperti fluida super yaitu He-3 (disini inti helium mempunyai 2 proton dan 1 netron). Sifat-sifat superfluiditas dari He-3 pada suhu 0,0025 K ditemukan oleh peneliti Amerika David M. Lee, Douglas D. Osheroff, dan Robert C. Richardson., yang mendapat hadiah nobel fisika 1996 karena penelitiannya itu (Evelyn Mintarno alumni TOFI, peraih perunggu dalam Olimpiade Fisika Internasional 2002, kini menjadi asisten Douglas D. Osheroff untuk riset lanjutannya).
Sekitar tahun 1970-an Leggett mengemukakan teori untuk menjelaskan sifat fluida super pada isotop He-3. Menurut Leggett isotop He-3 ini tidak bisa membentuk kondensat Bose-Einstein karena ia memiliki jumlah netron yang ganjil. Untuk itu Legget menyarankan bahwa bahwa atom-atom He-3 harus berpasangan dulu (Gambar 3) sehingga jumlah netron maupun protonnya menjadi genap seperti pada isotop He-4. Sesudah atom-atom berpasangan (analogi dengan pasangan elektron dalam superkonduktivitas), atom-atom ini mudah membentuk kondensat Bose-Einstein, dan fluidanya menjadi Superfluid.
Gambar 3. Analogi pasangan elektron dalam superkonduktivitas dengan pasangan atom dalam superfluiditas |
Kontribusi Leggett dalam superfluiditas telah memberinya berbagai penghargaan bergengsi seperti Wolf Prize (2003), John Bardeen Prize (1994), Paul Dirac Medal and Prize (1992), dan sebuah Nobel Fisika sebagai puncaknya.
Diadaptasi dari Yohanes Surya Ph.D
Supaya Kamu bisa dapet materi lebih banyak, Admin cuman minta LIKE & SHARE website ini. Biar Admin tambah semangat gitu... :)
0 comments:
Post a Comment